Isnin, 21 Januari 2013

menikah tak hanya memadu kasih


"Rumahku surgaku", sebuah kalimat yang pernah disabdakan  Rasulullah SAW secara singkat saat salah seorang sahabat bertanya mengenai rumah tangga beliau. Sebuah ungkapan yang mungkin tak  terhingga nilainya, dan tidak dapat diukur dengan parameter apapun. Sebuah idealisme yang menjadi impian semua keluarga. Tapi untuk mewujudkannya dalam sebuah rumah tangga (keluarga) ternyata tidaklah mudah. Tidak seperti yang dibayangkan ketika awal perkenalan atau sebelum pernikahan. Butuh proses, butuh kesabaran, butuh perjuangan, bahkan pengorbanan juga bekal  ilmu pengetahuan yang mencukupi!
Saat ini, persoalan dalam keluarga membuat banyak pasangan suami istri dalam masyarakat kita menjadi gamang. Baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Wajar, karena itulah hakikat hidup. Bukan hidup namanya jika tanpa masalah. Justru masalah yang membuat manusia bisa merasakan kesejatian hidup, menjadikan hidup lebih berwarna dan tidak polos seperti kertas putih yang membosankan. Namun jangan sampai masalah-masalah itu mengendalikan diri kita hingga kita kehilangan hakikat hidup.
Lihatlah akhir-akhir ini hamper disepanjang, begitu banyak pasangan yang mengajukan perceraian ke pengadilan agama dengan berbagai macam alasan. Memang yang lebih banyak terangkat adalah kisah rumah tangga para selebritis yang tak henti menghiasi layar kaca tentang rusaknya hubungan rumah tangga mereka. Tapi sesungguhnya itu hanya puncak sebuah gunung es. Karena masyarakat awam pun tak sedikit yang rumah tangganya bermasalah, bahkan mereka yang mendapat sebutan aktivis dakwah. Padahal yang perlu kita ingat-ingat dan kita sadari bahwa perceraian adalah hal yang paling dibenci oleh Allah, walaupun Allah telah menghalakan cara tersebut. Bahkan dengan adanya perceraian tersebut ‘arsy-nya Allah pun sampai bergoyang karena adanya dua insan yang memutuskan bercerai dan memutus hubungan keluarga yang telah terjalin, dengan alasan apapun.
***
Begitu banyak buku-buku pernikahan yang beredar di pasaran, bahkan sebagian menjadibest seller. Tak hanya buku-buku non fiksi, bahkan para fiksionis pun lebih senang mengangkat tema-tema merah jambu karena lebih disukai pasar. Isinya kebanyakan bersifat provokatif kepada orang-orang yang belum menikah agar segera menikah (seperti saya ini contohnya, baru punya rencana tapi belum merealisasikannya). Namun sayangnya hampir semua buku-buku itu isinya terlalu melangit. Banyak yang membahas hanya dalam hal-hal yang lebih bersifat menyenangkan. Padahal dalam berkeluarga itu tidak hanya senang saja bahkan ada disebagian keluarga porsi waktu duka lebih banyak dibanding waktu bahagia karena terbatas dengan segala kekurangan atau bahkan kelebihan yang dimiliki.
Yan banyak dibahas adalah pernikahan (kehidupan rumah tangga) pada sisi yang indah dan menyenangkan. Sementara sisi "gelap" pernikahan jarang sekali dikupas tuntas. Seperti tentang kehidupan setelah pernikahan, tentang biaya-biaya berumah tangga, dan hal-hal lain yang tentu tidak sepele dalam rumah tangga. Atau bahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan keluarga besar yang tidak jarang menghadirkan perbedaan pendangan diantara pasangan.
Isitrahatlah sejenak dari bermimpi tentang pernikahan. Jika mimpi itu hanya berisi bagaimana mengatasi rasa gugup saat akad nikah. Atau tumpukan kado dan amplop warna-warni menghiasi 'bed of roses'. Atau kalau hanya mengharap salam indah dan atau jawaban salam dari kekasih. Apalagi membayangi bisa menatap, berbicara dan menghabiskan waktu bersama belahan hati tercinta.
Pernikahan tidak cuma sampai di situ, sobat. Ada banyak pekerjaan dan tugas yang menanti. Bukan sekedar merapihkan rumah kembali dari sampah-sampah pesta pernikahan, karena itu mungkin sudah dikerjakan oleh panitia. Bukan menata letak perabotan rumah tangga, bukan juga kembali ke kantor atau beraktifitas rutin karena masa cuti habis.
Tapi ada hal yang lebih penting, menyadari sepenuhnya hakikat dan makna pernikahan. Bahwa pernikahan bukan seperti 'rumah kost' atau 'hotel'. Di mana penghuninya datang dan pergi tanpa jelas kapan kembali. Tapi lebih dari itu, pernikahan merupakan tempat dua jiwa yang menyelaraskan warna-warni dalam diri dua insan untuk menciptakan warna yang satu yaitu warna keluarga.
Di tengah masyarakat yang kian sakit memaknai pernikahan, semoga kita tetap memiliki sudut pandang terbaik tentangnya. Betapa banyak orang yang menikah secara lahir, tapi tidak secara batin dan pikiran. Tidak sedikit yang terjebak mempersepsikan pernikahan sebatas cerita roman picisan dan aktifitas fisik. Hingga wajar jika banyak remaja yang belum menikah saat mendengar kata menikah adalah kesenangan dan kenikmatan. Hal itu ditunjang oleh buku-buku pernikahan yang isinya ngomporin. Sementara sesungguhnya yang harus dilakoni adalah tanggung jawab dan pengorbanan.
Memang pernikahan berarti memperoleh pendamping hidup, pelengkap sayap kita yang hanya sebelah. Tempat untuk berbagi dan mencurahkan seluruh jiwa. Tapi jangan lupa bahwa siapapun pasangan hidup kita, ia adalah manusia biasa. Seseorang yang alur dan warna hidup sebelumnya berbeda dengan kita. Seberapa jauh sekalipun kita merasa mengenalnya, tetap akan banyak 'kejutan' yang tak pernah kita duga sebelumnya. Upaya adaptasi dan komunikasi bakal jadi ujian yang cuma bisa dihadapi dengan senjata yang bernama kesabaran.
Pasangan kita, yang kita cintai adalah manusia biasa. Dan ciri khas makhluk bernama manusia adalah memiliki kekurangan dan kelemahan diri. Memahami diri sendiri sebagai manusia sama pentingnya dengan memahami orang lain sebagai manusia. Pemahaman ini penting untuk dijaga, karena cepat atau lambat kita akan menemukan kekurangan atau kebiasaan buruk pasangan kita.

Oleh karena itu, bagi yang belum menikah, jangan terlalu banyak menghabiskan waktu dengan memilih pasangan hidup saja. Apalagi parameternya tak jauh dari penampilan, fisik, encernya otak, anak orang kaya, pekerjaan mapan, penghasilan besar, berkepribadian (mobil pribadi, rumah pribadi), berwibawa (wi...bawa mobil, wi...bawa handphone, wi...bawa laptop), dan sebagainya.

Tapi, pernahkah kita berpikir untuk membantu seseorang yang ingin mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik hari demi hari bersama diri kita?

Lebih dari itu, pernikahan dalam konteks dakwah merupakan tangga selanjutnya dari perjalanan panjang dakwah membangun peradaban ideal dan tegaknya kalimat Allah. Namun tujuan mulia pernikahan akan menjadi sulit direalisasikan jika tidak memahami bahwa pernikahan dihuni oleh dua jiwa. Setiap jiwa punya warna tersendiri, dan pernikahan adalah penyelarasan warna-warna itu. Karenanya merupakan sebuah tugas untuk bersama-sama mengenali warna dan karakter pasangan kita. Belajar untuk memahami apa saja yang ada dalam dirinya. Menerima dan menikmati kelebihan yang dianugerahkan padanya. Pun membantu membuang karat-karat yang mengotori jiwa dan pikirannya.
Menikah berarti mengerjakan sebuah proyek besar dengan misi yang sangat agung yaitu melahirkan generasi yang bakal meneruskan perjuangan. Pernahkan terpikir betapa tidak mudahnya misi itu? Berawal dari keribetan kehamilan, perjuangan hidup mati saat melahirkan, sampai kurang tidur menjaga si kecil? Ketika bertambah usia, kadang ia lucu menggemaskan tapi tak jarang membuat kesal. Dan seterusnya hingga ia beranjak dewasa, belajar berargumentasi atau mempertentangkan idealisme yang orangtuanya tanamkan. Sungguh, tantangan yang sulit dibayangkan jika belum mengalaminya sendiri...(sekali lagi seperti saya ini, hehehe,..)
Menikah berarti berubahnya status sebagai individu menjadi social (keluarga). Keluarga merupakan lingkungan awal membangun peradaban. Dan tentu sulit membangun peradaban jika kondisi 'dalam negeri' masih tidak beres. Maka butuh keterampilan untuk memanajemen rumah tangga, menjaga kesehatan rumah dan penghuninya, mengatur keuangan, memenuhi kebutuhan gizi, menata rumah, dan masih banyak lagi keterampilan yang mungkin belum atau mungkin lebih tepatnya tak pernah terpikirkan oleh kita...
Ini bukan cerita tentang sisi "gelap" pernikahan (wong saya sendiri belum nikah!). Tapi seperti briefing singkat yang menyemangati para petualang yang bakal memasuki hutan belantara yang masih perawan. Yang berhasil, bukan mereka yang hanya bermodal semangat. Tapi mereka yang punya bekal ilmu, siap mental dan tawakkal kepadaNYA. Karena pernikahan bukanlah sebuah keriaan sesaat, namun ia adalah nafas panjang dan kekuatan yang terhimpun untuk menapaki sebuah jalan panjang dengan segala tribulasinya.
Pernikahan adalah penyatuan dua jiwa yang kokoh untuk menghapuskan pemisahan. Kesatuan agung yang menggabungkan kesatuan-kesatuan yang terpisah dalam dua ruh. Ia adalah permulaan lagu kehidupan dan tindakan pertama dalam drama manusia ideal. Di sinilah permulaan vibrasi magis itu yang membawa para pencinta dari dunia yang penuh beban dan ukuran menuju dunia mimpi dan ilham. Ia adalah penyatuan dari dua bunga yang harum semerbak, campuran dari keharuman itu menciptakan jiwa ketiga.
Semoga artikel ini bias menembah wawasan bagi saya khusunya, dan bagi yang membaca ini pada umumnya, agar pandangan kita terhadap pernikahan bias berimbang, tidak melulu hanya membayangkan setelah menikah dengan pujaan hati, hidup bersama dengan penuh cinta kasih, bahagia, memiliki anak, dll, tapi harus kita ketahui bahwa segala resiko setelah kita mengucapkan ‘biqobbiltu nikakhaha bil mahril madzkur’ (kalo gak salah ya) atau‘saya terima nikahnya ,… binti ,…, dengan mas kawin tersebut tunai’ sangatlah besar. Tanggung jawab dan kesabaran harus menjadi yang nomor satu untuk bisa tetap menjalankan semuanya agar tetap sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada hambanya. Semoga kita bias menjadi keluarga yang bahagia dikemudian hari sampai tutuk  pol ajal pati kita masing-masing, Amieen!!